pasang iklan
pasang iklan

Senin, 16 Desember 2013

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL




PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL

                           disusun oleh            
                         Nama              :  DWIKY AGIL RAMADHAN
                           NIM                : E1A012279
                         Kelas              :  C
                         Prodi / Fak.   :  Ilmu Hukum/Hukum

                             
  
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
    2013
       DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................... .  i
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................    1
A.    Latar Belakang .......................................................................................    1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................    2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................    3
A.    PENGERTIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ..................................  3
B.     JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL....................................... 6
C.      PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL.........................................................................................  10
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN  ............................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 20  




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hubungan Industrial pada dasarnya adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan antara pengusaha dengan pekerja.[1] Dalam hubungan tersebut memang tidak selamanya akan berjalalan lancar-lancar saja dalam arti tidak ada permasalahan yang timbul dari hubungan industrial. Ini terbukti dengan banyaknya pemberitaan di media massa saat ini yang memberitakan perselisihan-perselisihan di dalam hubungan industrial tersebut.

Banyak faktor yang menjadi penyebab dalam permasalahan atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha, yang antara lain adalah Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK atau karena tidak adanya pemenuhan hak-hak bagi pekerja. Namun, tidak hanya itu, permasalahan hubungan industrial juga bisa terjadi anatara para pekerja sendiri. Misalkan antara serikat pekerja dalam satu perusahaan.

Karena banyak perselisihan-perselisihan yang timbul dalam hubungan industrial tersebut, maka perlu di cari cara terbaik dalam menyelesaikan permasalah atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha atau pekerja dengan pekerja. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menyelesaikan masalah tersebut ? hal ini perlu dikaji secara komperhensif sehingga dalam hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha tercipta sebuah hubungan yang harmonis dalam upaya mewujudkan suasana ketenagakerjaan yang baik dan harmonis di negeri ini

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia ?


BAB II


A.                PENGERTIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.[2] Dari pengertian hubungan industrial di atas maka ada beberapa pihak-pihak yang terkait dalam hubungan industrial tersebut yang antara lain adalah pengusaha/pemberi kerja, pekerja/ buruh dan pemerintah.
Jadi perselisihan hubungan industrial adalah perselisihan yang menyangkut hubungan antara pengusaha dan pekerja, serta melibatkan pemerintah dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentangpenyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang dimaksud perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pegusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.[3]
Adapun yang dimaksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sedangkan perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya keseuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau peraturan perusahaan atau perjanjikan kerja bersama, serta perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh satu pihak. Serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.[4]
Karena pihak-pihak yang terkait menurut definisi di atas hanya pengusha, pekerja,dan pemerintah maka di dalam hubungan industrial tersebut, ketiganya memiliki peranan atau fungsi masing-masing dalam hubungan industrial tersebut, antara lain :[5]
1.      Fungsi Pemerintah :
·         Menetapkan kebijakan
·         Memberikan pelayanan
·         Melaksanakan pengawasan
·         Melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.      Fungsi pekerja/ buruh dan serikat pekerja/buruh
·         Menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibanya
·         Menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi
·         Menyalurkan aspirasi secara demokratis
·         Mengembangkan keterampilan dan keahlianya
·         Memajukan perusahaan
·         Memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya
3.      Fungsi pengusaha dan organisasi pengusahanya
·         Menciptakan kemitraan
·         Mengembangkan usaha
·         Memperluas lapangan kerja
·         Memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka demokratis dan berkeadilan

Dari peranan atau fungsi para pihak yang ada di dalam hubungan industrial tersebut, terlihat bahwa ada suatu hubungan yang saling membutuhkan antara pihak-pihak yang terkait dalam hubungan industrial tersebut. Dalam upaya menciptakan hubungan yang baik tersebut, maka diperlukan sarana-sarana yang diperlukan dalam hubungan industrial tersebut, adapun sarannya adalah sebagai berikut : [6]
a.       Serikat pekerja/buruh
b.      Organisasi pengusaha
c.       Lembaga kerjasama bipatrite
d.      Lembaga kerjasana tripatrite
e.       Peraturan perusahaan
f.       Perjanjian kerja bersama
g.      Peraturan perundang-undangan ketengakerjaan
h.      Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Dari sarana yang ada dia atas maka dapat kita golongkan dalam dua (2) kelompok. Kelompok yang pertama adalah cara yang digunakan untuk mencegah adanaya perselisihan hubungan industrial (preventif) dan yang kedua adalah cara penyelesaian hubungan industrial bila terjadi permasalahan atau perselisihan hubungan industrial (represif).

B.                 JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Tidak terlepas dari fungsi-fungsi pihak yang terkait di atas maka, sejatinya perselisihan hubungan industrial menyangkut permasalahan diantara ketiga pihak diatas. Maka berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis perselisihan hubungan industrial meliputi : [7]
a.       Perselisihan hak
b.      Perselisihan kepentingan
c.       Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d.      Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Denagan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas, penjelasan umum UU No.2 Tahun 2004 menjabarkan lebih lanjut bahwa perselisihan hubungan industrial pada pokoknya adalah sebagai berikut :[8]

1.      Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2.      Pihak yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga dapat terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.
3.      Setiap perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat oleh pihak yang berselidih (bipatrite).
4.      Dalam hal perundingan oleh pihak yang berselisih (bipatrite) gagal, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihanya pada instani yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5.      Perselisihan kepentingan,  perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase atas kesepakatan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau arbitarse, maka sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
6.      Perselisihan hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase, namun sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
7.      Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.
8.      Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.
9.      Pengadilan hubungan industrial beradal pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada pengadilan negeri secara bertahap pada Mahkamah Agung.
10.  Untuk menjamin penyelesain yang cepat, tepat, adil, dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial yang berada pada linkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapanya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke pengadilan tinggi. Putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Adapun putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan merupukan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
11.  Pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh majelis hakim yang beranggotakan 3(tiga) orang, yakni seorang hakim pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc yang pengangkatanya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/ organisasi buruh.
12.  Putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13.  Untuk menegakan hukum ditetapkan sanksi, sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.

Imam soepomo, menyebutkan jenis perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtgeschil) dan perselisihan kepentingan (belangengeschil)[9]. Sedangkan menurut H.M Laica Marzuki, terdapat dua macam karakteristik perselisihan yang mewarnai karakteristik perselisihan yang mewarnai kasus-kasus perburuhan, yakni :
1.      Kasus perselisihan hak (rechtgeschil, conflict of right ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang demikian itu, menitik beratkan aspek hukum (rechtmatigheid )  dari permasalahan, utamanya menyangkut pencederaan janji ( wanprestasi ) terhadap perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.      Kasus perselisihan kepentingan (belangeschillen, conflict of interset ) yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-sayarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut perbaikan ekonomis serta akomodasi kehidupan para pekerja. Perselisihan sedemikian menitikberatkan doelmatigheid permasalahan.

Karakteristik perselisihan hak, pada intinya perselisihan hak normatif atau hak atas hukum dalam hubungan kerja, yakni perselisihan yang menitikberatkan aspek hukum (rechtmatigheid ), sebagai akibat terjadinya pelanggaran/tidak dipenuhinya hak, perbedaan perlakuan atau penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama. Sedangkan karakteristik perselisihan kepentingan berkaitan dengan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, yang menitikberatkan pada kebijaksanaan (doelmatigheid ) permasalahan, di luar aspek hukum.[10]
Dari pendapat Imam Soepomo, Laica Marzuki dapat diketahui bahwa perselisihan hubungan industrial hanya berwenang untuk mengadili perselisihan hak saja. Mustahil dapat menyelesaikan perselisihan kepentingan. Perselisihan kepentingan hanya dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi, yaitu mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Ketiga lembaga itu akan menyelesaikan dengan mencari win-win solution dalam bentuk kebijaksanaan. Apabila perselisihan kepentingan di selesaikan melalui jalur penyelesaian hubungan industrial, hakim peneyelesaian hubungan industrial akan menggunakan aturan hukum dengan menomorduakan kebijaksanaan yang dicapai melalui win-win solution .[11]

C.                PROSEDUR PENYELESIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Dalam rangka upaya penyelesaian hubungan industrial dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara yang di tempuh ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa dalam perselisihan hubungan industrial itu sendiri. Secara garis besar ada dua cara yang dapat di tempuh dalam menyelesaiakn perselisihan hubungan industrial, yakni melalui pengadilan hubungan industrial dan yang kedua adalah di luar pengadilan hubungan industrial.

Adapun cara-cara yang dapat di tempuh di luar pengadilan hubungan industrial antaralain adalah bipatrit, konsiliasi, arbitrase dan mediasi. Cara-cara penyelesian perselisihan hubungan industrial ini sangat dianjurkan, karena tidak melalui pengadilan hubungan industrial yang pastinya akan lebih menyita waktu, biaya dang tenaga pada pihak-pihak yang bersengketa. Diantara penyeleseian perselisihan hubungan industrial antara lain :

1.      Bipatrite
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PHI”) adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Setiap perundingan bipartit yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
v  nama lengkap dan alamat para pihak;
v  tanggal dan tempat perundingan;
v  pokok masalah atau alasan perselisihan;
v  pendapat para pihak;
v  kesimpulan atau hasil perundingan; dan
v  tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.
Dalam hal perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dimana Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan mengembalikan berkas-berkas tersebut untuk dilengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Dan setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi, mediasi atau melalui arbitrase. Dan apabila para pihak tidak menetapkan pilihan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan secara mediasi kepada mediator.[12]
2.      Konsiliasi
Pengertian konsiliasi sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 13 yang berbunyi “konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Konsiliator sendiri juga di atur dalam pasal 1 angka 14 yang berbunyi “konsiliator hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.[13]

3.      Arbitrase
Pengertian arbitrase sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian permasalahan hubungan industrial dalam pasal 1 angka 15 yang berbunyi “arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian kepada arbiter yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan arbiter sendiri adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri unuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaianya melalui arbitrase yang putusanya mengikat para pihak dan bersifat final.
4.      Mediasi
 Mediasi menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian hubungan industrial dijelaskan pengertianya dalam pasal 1 angka 11 yaitu mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator atau lebih mediator yang netral.[14] Sedangkan mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan menteri untuk bertugas melakukan mediasi yang mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dalam hal ini mediator harus memenuhi syarat-syarat sebagai mediator, adapun syarat untuk menjadi mediator adalah :
a.       Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.      Warga negara Indonesia
c.       Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter
d.      Menguasai peraturang perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
e.       Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
f.       Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (1) dan
g.      Syarat lain yang di tetapkan oleh menteri
5.      Pengadilan Hubungan Industrial
Pengdilan Hubunga industrial menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang di bentuk di lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusang terhadap perselisihan hubungan industrial.
Proses beracara di PHI, sebagaimana disebutkan Pasal 57 UU No 2/2004 adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu dalam surat gugatan hubungan industrial khusus perkara yang ada hubungannya dengan ketenagakerjaan. Selain itu, perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, dalam penyelesaian sengketa melalui PHI hanya melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Gugatan perdata yang diajukan dan diperiksa oleh hakim PHI ini terutama kasus perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi dan atau Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi gugatan ke PHI, umumnya adalah karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak yang berperkara mengenai besar-kecilnya uang pesangon, uang jasa, ganti rugi perumahan dan pengobatan, dsb dalam perundingan di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi. Atau bisa juga karena salah satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di Tingkat Bipartit, atau Tingkat Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi. Kalau yang terakhir terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PHI.
Hakim kasasi adalah majelis hakim di Mahkamah Agung RI, terdiri atas satu Hakim Agung dan dua Hakim Ad-Hoc. Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hak dan PHK serta Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajin mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK.
Kehadiran PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga merupakan kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum. Terlebih adanya putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pengusaha yang berani bertindak semena-mena terhadap pekerjanya. Adalah harapan kita semua, dengan UU No 2/2004 dan PHI ini diimbangi peran serta konsiliator, arbiter, mediator, dan hakim PHI yang benar-benar menegakkan hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari KKN serta netral (tidak memihak). Semua anjuran tertulis dari konsiliator, arbiter, dan mediator, maupun putusan PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan, dan kepatutan.


Perselisihan perburuhan yang merupakan sengketa perdata itu, sudah saatnya dan sudah seharusnya diadili oleh peradilan umum sejak dari awal. Namun bagi pencari keadilan, Pekerja terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme penyelesaiannya, melainkan bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh secara wajar tanpa harus bersentuhan dengan keruwetan birokrasi dan calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah wajar, karena walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme, PHI masih menggunakan Hukum Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi putusan PHI sendiri maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi ini merupakan masalah yang sangat krusial, karena disinilah penentuan dan letak akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai sebuah putusan jika sulit untuk dieksekusi. Dalam praktek peradilan kita, eksekusi bukanlah sesuatu yang "pasti" mudah dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan yang memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi putusan pengadilan, setidaknya eksekusi putusan PHI, yang sekurang-kurangnya merupakan penyederhanaan waktu proses eksekusi. Selain itu pembentukan PHI pada setiap peradilan umum dalam wilayah yang padat industri harus menjadi perhatian Presiden agar tidak tertunda dan segera diwujudkan. Dengan demikian keberadaan PHI yang diharapkan dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu merubah sikap pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan adalah identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan keraguan masyarakat semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan yang seperti tidak pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan perburuhan masih tetap tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya penyelesaian melalui Badan Administasi Negara dengan Peradilan Umum. Ini adalah tantangan bagi penyelenggara PHI kepada masyarakat Indonesia, khususnya pihak-pihak yang terkait dalam masalah ketenagakerjaan.[15]  

BAB III

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam rangka penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, maka dapat dilakukan dengan dua cara penyelesaian. Pertama,melalui jalur di luar pengadilan hubungan industrial yang antara lain melalui mediasi, konsiliasi, bipatrite dan arbitrase. Kedua adalah melaluo pengadilan hubungan industrial


[1] Wijayanti, Asri Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,  2009, Sinar Grafika Jakarta, hlm 178
[2] Rusli Hardijan , Hukum Ketenagakerjaan 2003 Ghalia Indonesia, Jakarta Hlm.145
[3] UU No.2 Tahun 2004 tentang  penyelesaian perselisihan hubungan industrial
[4] Ibid UU No.2 Tahun 2004 tentang  penyelesaian perselisihan hubungan industrial
[5] Op cit hlm 145-146
[6] Ibid hlm 146
[7] UU No.2 Tahun 2004 tentang  penyelesaian perselisihan hubungan industrial
[8] Wijayanti, Asri Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,  2009, Sinar Grafika Jakarta, hlm 181
[9] Imam soepomo, 1985 pengantar hukum perburuhan, djambatan jakarta hlm 97
[10]  Wijayanto setiawan, pengadilan perburuhan di indonesia, ringkasan disertasi, program pasca sarjana universitas airlangga surabaya, 2006, hlm 19
[11] Wijayanti, Asri Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,  2009, Sinar Grafika Jakarta, hlm 184
[13] UU No.2 Tahun 2004 tentang  penyelesaian perselisihan hubungan industrial

[14] UU No.2 Tahun 2004 tentang  penyelesaian perselisihan hubungan industrial
[15] KONSILIASI SEBAGAI PARADIGMA BARU DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Andari Yurikosari



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

silaturahmi

bagi kawan2 pengunjung blog ini, bisa menghubungi saya di 746839BA Hehehe, untuk menjalin silaturahmi antar umat manusia